Kuningan, -- (P88)Patroliinvestigasi88.com //
Kali ini ketua LSM Frontal Uha Juhana Soroti Rasio yang terjadi di Bank Kuningan ( BPR) Tembus hingga 123% disinyalir Bank Kuningan ( BPR) koleps, atau akan bernasib sama seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Mekar Jaya dalam memenuhi kewajiban kepada para anggotanya masih menyisakan luka mendalam bagi masyarakat Kabupaten Kuningan. Ratusan warga yang menjadi korban terdampak kehilangan akses terhadap dana simpanan mereka. Selama bertahun-tahun, koperasi yang tampak sehat bugar dari luar itu berubah menjadi runtuh seketika dan menghilangkan kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan lokal.
Namun yang lebih mengkhawatirkan, pola keruntuhan yang sama kini mulai muncul dan terlihat di tubuh BPR Kuningan, lembaga keuangan milik Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan. Dalam tahun politik 2024, ketika perhatian publik tersita pada agenda Pilkada dan pengalihan fokus birokrasi, BPR Kuningan justru mengeluarkan sinyal darurat sistemik dalam dunia keuangan lokal.
Kami dari LSM Frontal memberikan catatan kritis terhadap tata kelola PERUMDA, khususnya di BPR Kuningan atau Bank Kuningan nama yang sekarang kita kenal.
Dalam Laporan Publikasi Keuangan per 31 Desember 2024, yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik DRA. Yati Ruhiyati, CA., CPA, tercatat Loan to Deposit Ratio (LDR) pada BPR Kuningan mencapai 123,01 persen angka yang jauh melampaui batas aman yang ditetapkan regulator untuk bisnis perbankan.
Secara teknis, LDR adalah rasio antara total kredit yang diberikan bank dengan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun. Artinya, LDR mengukur seberapa besar dana masyarakat yang telah disalurkan kepada sektor pembiayaan. Dalam konteks manajemen perbankan, LDR adalah salah satu indikator paling penting untuk menilai kemampuan likuiditas suatu bank.
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 17/POJK.03/2013 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, rasio LDR ideal berada pada kisaran 75% hingga 90%. Angka di atas 90% mulai mengindikasikan bahwa bank telah menyalurkan sebagian besar dana ke dalam bentuk alokasi kredit, dan semakin mendekati atau melebihi 100% menunjukkan gejala overloaning yakni kondisi ketika bank meminjamkan lebih banyak uang daripada yang secara realistis bisa dicadangkan untuk penarikan tunai nasabah.
Bahkan dalam praktik kehati-hatian di industri perbankan, banyak bank menetapkan ambang batas LDR internal yang lebih konservatif pada level 85-90 persen. Hal ini untuk menjaga buffer likuiditas agar tetap tersedia jika terjadi fluktuasi penarikan dana oleh nasabah secara besar-besaran (rush money).
Rasio LDR dari BPR Kuningan yang mencapai 123,01 persen merupakan tanda bahaya keras bahwa bank ini secara teknis telah kehabisan ruang likuiditas. LDR di atas 100 persen artinya dana masyarakat sudah habis disalurkan kepada kredit. Tidak ada lagi yang disimpan dalam bentuk kas atau aset likuid. Simpanan masyarakat bisa dibilang dalam posisi tidak aman.
Data keuangan BPR Kuningan mencatat bahwa dari total DPK sebesar Rp 143,5 miliar, hanya tersedia kas sekitar Rp 24 miliar. Berdasarkan fakta itu kami memperingatkan bahwa bila terjadi penarikan dana sebesar 30% saja atau sekitar Rp 43 miliar, maka Bank Kuningan akan kewalahan untuk melakukan pembayaran.
Kalau total dana ditarik 30 persen saja oleh nasabah, BPR Kuningan pasti tidak akan sanggup untuk membayar. Ini skenario awal yang pernah terjadi pada KSP Mekar Jaya dan kini muncul di lembaga keuangan milik pemerintah daerah.
Yang jelas pengawasan oleh Kuasa Pemilik Modal (KPM) saat ini sangat lemah, padahal Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar, menjabat langsung sebagai KPM dari BPR Kuningan. Bagaimana mungkin rasio LDR bisa tembus hingga 123 persen tanpa ada intervensi atau koreksi dari KPM? Pak Dian itu bukan hanya Bupati, tapi juga penanggung jawab tertinggi dalam struktur kepemilikan BPR Kuningan.
Pemerintah daerah harus bertindak tegas dengan segera mencopot Dirut Bank **Do2/Bopih**