(Patroli 88investigasi)
KUNINGAN - Sorotan tajam kembali diarahkan pada tata kelola air di kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Pengurus Forum Masyarakat Sipil Independen (FORMASI), Rokhim Wahyono, menegaskan bahwa persoalan mata air di seluruh wilayah kawasan TNGC khususnya Cisantana bukan hanya menjadi tanggung jawab Balai TNGC, tetapi juga merupakan kewajiban pemerintah daerah serta seluruh elemen masyarakat.
Menurut Rokhim, pemanfaatan air di kawasan itu harus menyentuh seluruh aspek kehidupan warga, terutama kebutuhan pertanian yang menjadi penopang ketahanan pangan Kabupaten Kuningan.
“Air harus dipakai sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Jangan sampai petani menjadi pihak yang paling dirugikan,” ujarnya, Jumat (12/12/2025).
FORMASI menilai terdapat kecenderungan penyudutan terhadap pelaku usaha kecil, sementara pengusaha wisata besar justru belum tersentuh evaluasi serius. Pemerintah daerah dinilai kurang jeli melihat potensi penyalahgunaan kuota air oleh hotel, villa, rumah makan, kafe, resto, hingga objek wisata besar seperti Arunika.
“Kami mendesak dilakukan evaluasi dan audit menyeluruh terhadap semua pengguna air di kawasan Cisantana. Tidak boleh ada tebang pilih. Baik TNGC maupun Pemda harus turun melakukan pemeriksaan secara transparan,” tegas Rokhim.
FORMASI menilai tata kelola air kawasan konservasi ini sudah jauh dari prinsip regulasi. Banyak hal yang harus diungkap secara terang, mulai dari legalitas penggunaan air, siapa yang mengeluarkan izin, hingga ke mana aliran retribusi air dialokasikan.
“Tata kelola air TNGC harus kembali ke koridor hukum. Ini soal kepastian hukum dan akuntabilitas publik,” kritiknya.
FORMASI juga menekan pemerintah daerah dan Balai TNGC agar duduk bersama menyusun pembagian kewenangan yang jelas, sehingga tidak terjadi tumpang tindih aturan yang hanya memicu kericuhan dan kebingungan di tingkat masyarakat.
Rokhim mengingatkan bahwa pengelolaan mata air Cisantana harus tunduk pada amanat UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3, yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pelaksanaannya juga telah diatur secara tegas dalam UU No. 17/2019 tentang Sumber Daya Air.
“Air bukan milik segelintir orang. Negara wajib menjamin pengelolaannya adil bagi semua,” ujarnya.
Pada aksi 10 Desember di depan Kantor Balai TNGC, seorang orator mengungkapkan bahwa ia mengantongi data lengkap terkait dugaan eksploitasi air tanpa izin di kawasan konservasi. Temuan tersebut bahkan dibenarkan oleh pihak Balai TNGC.
FORMASI meminta aparat berwenang segera melakukan penyelidikan dan menindak tegas siapa pun yang terlibat dalam pelanggaran tersebut.
“Kalau benar ada eksploitasi ilegal, itu bukan hanya salah, tetapi sudah bentuk pembangkangan terhadap aturan negara,” tegas Rokhim.
Mengakhiri pernyataannya, FORMASI menegaskan bahwa kegaduhan publik justru diperlukan sebagai bentuk kontrol masyarakat.
“Lebih baik kita gaduh hari ini untuk pembenahan, daripada mewariskan persoalan kompleks kepada generasi berikutnya,” pungkas Rokhim.
Lanjutnya kritikan tajam dari Pengamat kebijakan publik Santos Johar menegaskan bahwa pihaknya kini sudah tidak lagi menaruh harapan besar kepada para anggota dewan yang disebutnya semakin jauh dari fungsi pengawasan. Ia menyatakan bahwa FORMASI lebih memilih mengandalkan laporan masyarakat, temuan lapangan, dan informasi dari berbagai media sebagai dasar pemantauan publik. Menurutnya, kondisi ini menjadi cermin meredupnya integritas lembaga perwakilan yang seharusnya berdiri di garis terdepan membela kepentingan rakyat.
/Red

